MATERI KE-29
Pokok
Bahasan : Konteks Gereja
Sub Pokok Bahasan :
Sejarah Gereja di Indonesia
Tujuan
Pembelajaran Khusus : Melalui pelajaran ini katekisan dapat :
1. Menjelaskan pertumbuhan gereja dan
penginjilan di Indonesia secara garis besar
2. Mengidentifikasi masalah-masalah
yang dihadapi gereja di Indonesia pada kurun waktu masa VOC dan penjajahan
Belanda.
3. Menghargai keberadaan Gereja-Gereja
di Indonesia yang berakar pada sejarah masa lampau.
SEJARAH
GEREJA DI INDONESIA
Kepulauan Nusantara
(sekarang Indonesia)
memiliki sejarah yang panjang. Sebelum tahun 400 Masehi (abad 4) telah terjadi
berbagai perkembangan tetapi tidak ada peninggalan tulisan sehingga masa itu
kita sebut pra sejarah Nusantara. Sejarah Nusantara baru dimulai dengan
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha abad 4 sampai 15 yang tersebar di Kalimantan,
Jawa dan Sumatra. Kerajaan-kerajaan yang terkenal adalah Sriwijaya di Sumatra
Selatan (abad 7-13) dan Majapahit (13-15) di Jawa Timur, yang juga menjadi
salah satu mata rantai dalam jalur perdagangan antar Asia Timur (Tiongkok) dan
Eropa (Italia) melalui jalur laut. Sejak dulu Nusantara terkenal dengan hasil
rempah-rempah antara lain lada, kayu cendana, kemenyan, cengkeh, pala dan kapur
barus. Rempah-rempah itu telah menjadi primadona perdagangan internasional
dengan para pedagang datang dari Cina, India, Gujarat, Persia, Arab dan
kemudian orang-orang Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris.
Setelah kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang menyebarkan agamanya, muncul
pedagang-pedagang Gujarad, Persia dan Arab yang menyebarkan agama Islam.
Sejarah mencatat bahwa sejak abad 11
telah muncul kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, Malaka, Jawa, Kalimantan, sampai
ke Nusantara bagian Timur yaitu Ternate, Tidore dan Hitu. Kerajaan-kerajaan ini
berkembang sampai abad 17 dan menyebarkan Islam yang menjangkau wilayah-wilayah
Nusantara seperti yang kita kenal sekarang. Walaupun Islam menguasai hampir
semua daerah pesisir pulau-pulau di Nusantara, tetapi agama-agama asli atau
suku tetap hidup terutama di pedalaman-pedalaman khususnya di pulau-pulau yang
secara perdagangan tidak menguntungkan, seperti Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Pada satu ketika jalur perdagangan
rempah-rempah dari Asia (khusus Nusantara) mengalami kemacetan. Rempah-rempah
tidak dapat lagi dibawa ke Eropa. Hal ini disebabkan perang salib antara
orang-orang Arab dan Turki (yang Islam) melawan orang-orang Germania (Kristen)
pada tahun 1095 – 1299 dan berlanjut sampai abad 16. Akibat perang ini banyak
wilayah Kristen di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi Islam. Malah wilayah
Spanyol dan Portugis beberapa abad dijajah Islam.
Kebangkitan melawan Islam sekaligus
sebagai upaya merebut daerah-daerah penghasil rempah-rempah (Nusantara) muncul
ketika Spanyol dan Portugis berhasil mengusir orang-orang Islam dari Eropa
Selatan. Kemenangan ini disambut Paus Gereja Katolik Roma Aleksander VI yang
memberikan mandat kepada Spanyol dan Portugis untuk menguasai dunia baru bagi
Gereja Katolik Roma (d.h.i. Paus). Kita ingat Colombus yang berlayar ke Barat
dan menemukan Amerika tahun 1492 dan Vasca da Gama ke Timur mencapai India
tahun 1498. Malah dengan cepat orang-orang Portugis menguasai Malaka 1511 dan
mendarat di Ternate 1512. Gereja Katolik Roma secara resmi beribadah di Ternate
tanggal 24 Juni 1522 (diperingati sebagai masuknya Gereja Katolik Roma ke
Indonesia).
Mulailah kegiatan Gereja di Maluku
yang dirintis oleh pater-pater Dominikan, Fransiskus dan Agustin. Belakangan
datang membantu pater-pater Jesuit dengan pelayanan Fransiscus Xaverius pada
tahun 1546 sampai 1548. Hasilnya cukup berkembang dengan masuknya 47 desa di
Leitimor Ambon Saparua, Haruku, Nusalaut dan Seram Selatan memeluk Katolik
Roma. Gereja Katolik juga menjangkau Sulawesi Utara 1563 tetapi tidak berhasil
membentuk jemaat-jemaat seperti di Maluku. Begitu pula menyebar ke NTT dan
berhasil membangun Jemaat-jemaat Katolik di Flores, Solor dan Timor.
Perjalanan Portugis di Indonesia
penuh dengan tantangan. Tidak hanya dari Sultan-Sultan Islam (pater Simon Vaz
dibunuh di Morotai 1535) tetapi juga dari pihak Belanda dengan Verenigde Oost-Indische Campagnie (=VOC) badan dagang yang didirikan 1602
yang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara.
Terjadilah perang yang menentukan di
Teluk Ambon. Tanggal 23 Februari 1605, kapal-kapal perang Belanda dibawah
Laksamana Steven van der Haghen mengalahkan kapal-kapal perang Portugis dibawah
Laksamana Caspar de Mello. Benteng Portugis jatuh ke tangan Belanda, maka pada
hari Selasa, 27 Februari 1605 diadakanlah Ibadah Pengucapan Syukur di Benteng
Victoria, Ambon. Itulah ibadah Protestan yang pertama di Nusantara (dan Asia).
Sekarang, tanggal 27 Februari tersebut dijadikan sebagai titik tolak ulang
tahun GPI = Gereja Protestan di Indonesia. Sejak itu Ambon dijadikan pusat VOC
di Nusantara dengan dipimpin oleh Gubernur Jenderal. Semua umat Katolik di
Ambon dialihkan menjadi umat Protestan. Dari Ambon dilakukan pelayanan oleh
tenaga-tenaga pendeta dari Belanda yang dibantu oleh perawat orang sakit yang
sebelumnya bertugas di kapal-kapal VOC. Pelayanan menjangkau pulau-pulau di
Maluku bagian Selatan seperti Kei, Aru, Tanimbar, Babar dan Kisar, juga
perjalanan pelayanan dari Bacan ke Minahasa dan Sangir tahun 1675 dan 1689.
Namun perkembangan pelayanan tersebut tidak memuaskan. Orang-orang Kristen di
Maluku bertambah dari 16.000 saat penyerahan dari Portugis (awalabad 17)
menjadi 33.000 pada akhir abad 17. Sejak 1612 telah ditempatkan pendeta di
Ambon dan tahun 1622 dibentuk Majelis Gereja di Banda dan 1625 di Ambon yang
mengorganisir pelayanan. Pendeta-pendeta mendidik guru-guru Ambon yang
selanjutnya berjasa memelihara jemaat - jemaat tatkala tidak ada lagi
penempatan pendeta karena merosotnya VOC.
Sementara itu VOC mencari pusat
perdagangan baru karena Ambon dianggap terlalu jauh. Maka dibangunlah kota
Batavia (=Jakarta sekarang) pada tanggal 30 Mei 1619 dan Jan
Pieterzoon Coen
diangkat menjadi Gubernur Jenderal. Lalu bulan Desember 1619, diangkatlah Pdt.
Adriaan Jacobsz Hulsebos (sahabat Coen) menjadi pendeta di Batavia. Ia
mengadakan pelayanan Perayaan Perjamuan Kudus pertama yang dilaksanakan tanggal
3 Januari 1621 sekaligus membentuk Majelis Gereja Protestan di Batavia. Majelis
Gereja Batavia membuka pelayanan berbahasa Belanda di pusat VOC, (Taman
Fatahilah sekarang), Bahasa Portugis untuk orang-orang yang dimerdekakan
sebagai pengikut orang-orang Portugis atau keturunan Portugis di Tugu tahun
1633 (sekarang Jemaat GPIB
Tugu Tanjung Priok). Sebelumnya sejak
tahun 1621 telah dilaksanakan pelayanan berbahasa Melayu yang mengambil lokasi
di luar benteng (sekarang Taman Fatahilah) dan sekarang kita kenal dengan
Jemaat GPIB Sion di Kota. Sementara itu dibuka pos pelayanan bahasa Melayu di
Jatinegara (Gereja GPIB Bethel Kononia sekarang), dilayani oleh Cornellis Senen
(1600-1661), seorang guru Injil asal Banda. Ia seorang kaya yang memiliki tanah
di Jatinegara (yang terkenal dengan Meester Cornellis) dan di daerah Senen
(sekarang terkenal dengan Pasar Senen).
Dari Batavia VOC membuka pelayanan
di Kupang (1613), Malaka (1641), Makasar (1670), Padang (1683), Surabaya (1708)
dan Semarang (1753). Sampai tahun 1624, di Nusantara ini terdapat 5 (lima)
Jemaat, yaitu Banda, Ambon, Bacan, Solor dan Batavia. Jemaat-jemaat ini pertama
kali mengadakan rapat bersama (Sidang Sinode) pada tanggal 8 Agustus – 20
Oktober 1624 di Batavia untuk memberlakukan peraturan Gereja Protestan di
Nusantara. VOC melakukan kegiatan Gereja sebatas merawat kerohanian orang-orang
Belanda yang berdagang dan pegawai-pegawainya (termasuk orang-orang pribumi
yang menjadi Kristen) di wilayah-wilayah Nusantara, khusus kota-kota pelabuhan.
Perawatan rohani itu mencakup ibadah-ibadah Minggu, Baptis, Perjamuan Kudus.
Katekisasi, pernikahan, pemakaman, menghibur orang-orang sakit,
kunjungan-kunjungan dan penerjemahan bagian-bagian Alkitab ke dalam bahasa
Melayu. Tidak ada data yang menjelaskan bahwa VOC memberitakan Injil untuk
memenangkan orang-orang pribumi yang masih belum beragama. VOC melakukan tugas
rawatan rohani berdasarkan Pengakuan Iman Belanda (1561, artikel 36 yang
menugaskan pemerintah untuk: “mempertahankan pelayanan Gereja yang kudus,
memberantas dan memusnahkan penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan
kerajaan Anti-Kristus dan berikhtiar supaya Kerajaan YESUS KRISTUS berkembang,
berusaha agar Firman Injil dikabarkan ke mana-mana, supaya ALLAH dimuliakan dan
dilayani oleh tiap-tiap orang, sebagaimana diperintahkan-NYA dalam Firman-NYA.”
Sekalipun ada penugasan seperti ini,
tetapi VOC lebih mementingkan perdagangan. Boleh dikatakan tak ada upaya secara
berencana melakukan pekabaran Injil dan mendirikan Gereja di Nusantara.
Masyarakat yang beragama suku (percaya kepada leluhur) tidak dijangkau. VOC
lebih mengamankan kepentingan dagangnya dari rongrongan Sultan-sultan dan
raja-raja Islam. Untuk menjaga kepentingannya. VOC memonopoli perdagangan dan
membiarkan kerajaan Islam berkuasa di daerah-daerahnya masing-masing. Jadi VOC
tidak menjajah Nusantara sampai badan ini dibubarkan tanggal 31 Desember 1799
oleh Kerajaan Belanda. Korupsi yang merajalela dan merosotnya perdagangan
rempah-rempah menyebabkan badan ini gulung tikar. Secara otomatis pula
jemaat-jemaat yang dilayaninya juga terlantar dan tidak terurus. Bahkan
kebanyakan kembali lagi ke agama sebelumnya. Fakta sejarah membenarkan bahwa
warga masyarakat setempat (=pribumi) menjadi Kristen bukan karena percaya
sungguh-sungguh kepada TUHAN YESUS KRISTUS sebagai Juruselamat. Mereka menjadi
Kristen terutama karena faktor politik yaitu mencari perlindungan kepada
Portugis atau Belanda untuk mempertahankan diri. Juga oleh faktor psikologis
yaitu mengangkat martabat dan kedudukan yang dipersamakan dengan pendatang dari
Eropa. Sehingga mereka mengganti nama dan marganya dengan nama orang-orang
Eropa, walau sering terjadi bahwa orang-orang Eropa itu tidak menjadi teladan
secara moral dan etika. Persoalan-persoalan ini sering menjadi pergumulan
Gereja juga zaman selanjutnya.
Dengan bubarnya VOC, Belanda secara
resmi berkuasa atas Nusantara sebagai wilayah jajahannya sejak 1 Januari 1800.
Belanda mulai mengadakan langkah-langkah penataan, namun mengalami kesulitan
karena perkembangan yang terjadi di Eropa. Revolusi Perancis 14 Juli 1789 dan ekspansi Napoleon
Bonaparte
(1799-1815) turut mempengaruhi peta politik di Eropa. Belanda berada dalam
pengaruh Perancis dan permusuhan Perancis dengan Inggris turut menyeret
Belanda. Atas restu Napoleon, Herman
Willem Daendels
ditempatkan sebagai Gubernur Jenderal di Nusantara (1808-1811) dengan tugas
mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels gagal mempertahankan pulau
Jawa, dan Nusantara resmi dikuasai Inggris (1811-1816). Thomas Stamford Raffles menjadi penguasa Inggris di
Nusantara dengan pangkat Letnan Jenderal. Jasa-jasa Raffles tidak hanya
terlihat dalam membangun Kebun Raya Bogor, tetapi juga dalam pelayanan Gereja.
Ia mendirikan Yayasan Penginjilan dan mendorong pertumbuhan Gereja, khusus di
Batavia dan Surabaya, termasuk penerjemahan Alkitab. Inggris mengakhiri
peranannya di Nusantara tahun 1816 berdasarkan Konvensi London 1814. Belanda
kembali berkuasa dan menerapkan 3 (tiga) kebijakan penting.
Pertama, dibidang pendidikan di mana
penduduk setempat (pribumi) diperkenankan menempuh pendidikan dasar dan
menengah, dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Kebijakan ini terutama
didorong oleh gerakan humanism di Eropa dan tanggung jawab pemerintah untuk
mengupayakan kemajuan di antara masyarakat. Pendidikan dasar dan menengah ini
ditingkatkan dengan berdirinya sekolah-sekolah termasuk sekolah-sekolah zending
dan sekolah Teologi.
Kedua, di bidang ekonomi dalam rangka
mengatasi kesulitan ekonomi dan keuangan di Negeri Belanda dan juga
daerah-daerah jajahannya. Masyarakat digerakkan untuk menanam jenis-jenis
tanaman yang dibutuhkan pasaran dunia yaitu: kopi, teh, karet dan kina. Usaha
ini diikuti dengan dibukanya perkebunan-perkebunan di Jawa dan Sumatra.
Kebijakan ini dikenal dengan Sistem Tanam Paksa
(Cultuurstelsel)
sejak 1830. Walau kebijakan inimengalami kemajuan pesat tetapi hasilnya tidak
dinikmati rakyat. Bagi Gereja zaman itu contoh pembangunan di bidang ekonomi
ini mengilhami Gereja juga untuk mendorong pembangunan ekonomi Jemaat, antara
lain dengan membuka lahan untuk kebun-kebun Jemaat.
Ketiga, di bidang agama, dimana pemerintah
memproklamirkan adanya kebebasan beragama, sejak pemerintahan Daendels di
Nusantara. Kebijakan ini dilatar-belakangi oleh aliran Pencerahan di Eropa abad
18 yang sangat menekankan kemandirian manusia yang bebas dari semua kuasa di
luar dirinya baik yang duniawi maupun ilahi. Manusia bebas menentukan apa yang
baik dan penting bagi hidupnya. Juga dalam hal beragama atau tidak. Hal-hal
yang diluar akalnya tidak harus mengikat dirinya termasuk Gereja. Kebebasan
beragama ini juga tak hanya dipengaruhi aliran pencerahan, tetapi juga ada
aliran lain di kalangan orang-orang Kristen yang disebut pietisme (= gerakan
kesalehan).
Gerakan ini mengajarkan bahwa hidup
saleh ditandai dengan hidup suci yang dibuktikan dengan pertobatan pribadi oleh
kuasa Roh Kudus dan baptis ulang. Selain itu gerakan ini mendorong orang-orang
Kristen untuk tidak terikat pada organisasi Gereja dan bila perlu berjuang
membuat Gereja-gereja bertobat. Mereka membangun solidaritas orang-orang
Kristen dan menggerakkan untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia. Keanggotaan
gereja tidak penting.
Kebijakan-kebijakan di atas
diterapkan di daerah jajahan Belanda di Nusantara. Namun tidak mudah, karena
menghadapi masyarakat yang sangat majemuk. Lagi pula masyarakat mengalami
kemiskinan karena perdagangan rempah-rempah merosot tajam. Lalu
kerajaan-kerajaan setempat semakin dikurangi kekuasaannya oleh Belanda.
Nafsu penjajahan menimbulkan kebencian dari masyarakat. Muncullah
pemberontakan-pemberontakan setempat dimulai dari Thomas Matulesy
(Pattimura)
di Maluku, 1817; Diponegoro di Jawa, 1825-1830; Imam Bonjol di Sumatera, 1821-1837; Hidayat di Kalimantan, 1859-1852; Sisingamangaraja
XII di Tapanuli, 1878-1907; dan banyak
lagi daerah-daerah yang bergolak melawan Belanda.
Menghadapi keadaan yang bergolak ini
Belanda mengadakan konsolidasi pemerintahan dan menanamkan kekuasaannya di
seluruh wilayah Nusantara. Bersamaan dengan itu disusun dua langkah di bidang
agama untuk menghadapi keadaan, khusus Islam.
Pertama, menghimpun kembali Jemaat-jemaat
Protestan yang telah ada sejak VOC dan mengorganisir orang-orang Protestan di
seluruh wilayah Nusantara ke dalam Gereja Protestan di India Timur (De
Protestantsche Kerk in Oost Indie) dengan keputusan pemerintah 1815 dan
dilaksanakan tahun 1840. Dibentuklah Majelis Gereja dibawah Departemen
Perdagangan dan Daerah Jajahan. Pusatnya di Gereja
Immanuel, Merdeka Timur 10
Jakarta sekarang. Untuk itu dibangun Gereja Raja Willem (sekarang Immanuel)
tahun 1835-1839. GPI sering disebut sebagai Gereja yang diatur oleh Negara
dengan sistem birokrasi dan organisasi yang ketat. Pembiayaannya oleh Negara.
Kedua, mengizinkan badan-badan
penginjilan dari Eropa masuk ke Nusantara untuk menginjili penduduk asli yang
belum beragama agar menjadi Kristen. Oleh pengaruh Pietisme (seperti disebut
5.5) terbentuk badan-badan penginjilan (zending) di Inggris, Belanda, Jerman dan
Swiss. Saat Inggris berkuasa di Nusantara, misi dari London bekerja di Jakarta
dan Baptis di Semarang. Selanjutnya penginjilan dari Belanda yang bekerja di
Nusantara. Sedangkan Tapanuli dilayani oleh penginjilan dari Jerman dan
Kalimantan oleh penginjilan dari Swiss. Badan-badan penginjilan ini bekerja
secara mandiri tanpa bergantung pada Negara, walau sering dihambat karena
dianggap merugikan kepentingan politik, ekonomi dan sebagainya dari Negara.
Boleh dikatakan GPI dan Badan-badan penginjilan (zending) bahu membahu
melaksanakan dan mengembangkan kekristenan di Indonesia. Sementara itu gereja
Roma Katolik dengan kebijakan kebebasan beragama di perbolehkan melakukan
kegiatan di Nusantara. Dibangunnya Gereja
Katedral baru pada
1891 menandai keagiatan-kegiatan Gereja Katolik Roma dibawah pater-pater Jesuit
dan yang lainnya di Nusantara.
Selanjutnya
kita akan mempelajari secara singkat Gereja Protestan di bawah Negara.
Gereja Protestan yang diasuh Negara
disebut De Protestansche Kerk in Oost Indie, kemudian berganti nama menjadi De
Protestansche Kerk in Nederlands-Indie. Lalu menjelang kemerdekaan disebut De
Protestansche Kerk in Indie. Akhirnya tahun 1948 dirubah menjadi Gereja
Protestan di Indonesia (GPI). GPI, melalui pemerintah Belanda
bekerja sama dengan Gereja Hervormd Belanda (De Nederlandsch Hervormd
Kerk atau Gereja Reformasi/Pembaruan Belanda) menempatkan pendeta-pendeta
Belanda di Indonesia. Mereka melayani di Batavia (= Jakarta), Ambon, Manado/Tomohon,
Kupang, kemudian Semarang, Surabaya, Makasar, Padang dan kota-kota besar
lainnya. Umumnya melayani orang-orang Belanda, pegawai-pegawai dan tentara yang
umumnya berasal dari Ambon, Minahasa dan Timor. Disamping itu GPI bekerjasama
dengan badan-badan zending Belanda (Nederlandsch Zendeling Genootschaap = NZG), untuk membangun kembali jemaat-jemaat di Maluku. Joseph Kam dipekerjakan di Ambon tahun
1815-1833 dan mengunjungi hampir seluruh wilayah Maluku sampai ke Timor, Minahasa
dan Sangir. Ia digelar Rasul Maluku karena kegiatannya mengunjungi
Jemaat-jemaat, menyediakan tenaga guru, dan fasilitas pelayanan seperti
bahan-bahan khotbah dan katekisasi.
GPI juga bekerjasama dengan NZG
melayani di Minahasa melalui 3 (tiga) penginjil terkenal Gerrit Jan C.
Hollendorn (1827-1839), Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlob Schwarz
(1831 sampai1880-an) termasuk membuka sekolah-sekolah untuk masyarakat. Di
Timor GPI bekerjasama dengan NZG dan disana ditempatkan pendeta-pendeta penginjil
seperti R. le Bruijn (1819) dan Yohanis Condrad Terlinden (1829) di pulau Rote.
Mereka juga melayani dan membuka sekolah-sekolah.
Di lain pihak (di luar GPI) muncul
penginjilan-penginjilan yang dilakukan secara pribadi atau kelompok. Di Jawa
Timur juga tercatat nama seperti: Johanes Emde (1774-1859) yang bekerja di
Surabaya menyebarkan Alkitab, serta mengkristenkan dengan menerapkan budaya
Eropa (harus meninggalkan adat setempat). Conrad Laurence Coolen (1775-1858)
mendirikan desa rohani (Islam dan Kristen) di Ngoro (Selatan Surabaya) dengan
mengajarkan kekristenan secara “ngelmu”, zikir, mempergunakan gamelan, wayang
dan mendorong agar tetap mempertahankan budaya Jawa. Pengikut-pengikut Coolen
bertapa dan mencari hubungan dengan KRISTUS sebagai “Guru”.
Pengikut-pengikutnya antara lain Kyai Ibrahim alias Kyai Ngabdulah alias
Tunggul Wulung yang menginjili di daerah Juwana-Jepara, gunung Muria dan
sekitar. Selain itu Kyai Zadrack (1840-1924) di Purworejo Jawa Tengah. Juga Pa
Dasima serta Paulus
Tosari dari
Ngoro, yang mendirikan desa Kristen di Mojowarno sekitar tahun 1834 dan 1840.
Dua nama terakhir ini menjadi perintis berdirinya Gereja Kristen Jawi Wetan
(GKJW). Di Batavia ada nama-nama seperti Cornelis
Chastelein pada
tahun 1714 membebaskan pengikut-pengikutnya dalam 12 marga (a.l. Jonathans,
Bäcas, Sudira) untuk mengolah tanahnya di Depok (de Eerste Protestant Organizatie
Kerk, Jemaat GPIB
Depok sekarang)
dan memberikan mereka 12 marga yang membentuk Jemaat disana. Selain itu ada
seorang tokoh (awam): Mr. F.L Authing, wakil Ketua Mahkamah Agung yang
menginjili Kampung Sawah dan Gunung Putri (Jemaat-jemaat GKP sekarang). Juga
Pdt. E.W. King yang membentuk Jemaat Jatinegara (GKP Rehoboth sekarang).
Sebelum GMIM berdiri, muncul
perpecahan di Sulawesi Utara sehingga mendahului terbentuknya GMIM, pada tahun
1933 telah berdiri Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM). GMIM memperluas
penginjilannya ke Gorontalo (muncul Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo),
Buol Toli -Toli (menjadi Gereja Protestan Indonesia di Buol-Toli-Toli),
Donggala (Gereja Protestan Indonesia di Donggala).
GPM melaksanakan penginjilan ke
Papua (menjadi GPI Papua). GPI tetap menjadi Gereja dan terbuka menerima
anggota baru antara lain Gereja Kristen Luwuk-Banggai.
Pada jalur lain kekristenan di
Indonesia pada parohan abad 19 (± 1860 an) berkembang melalui pelayanan penginjilan
(zending atau misi) dari Eropa (Belanda, Jerman, Swiss) dan dari Amerika Utara.
Badan-badan penginjilan dari
Belandalah yang paling berperan di Nusantara. Kurang lebih 10 badan
penginjilan, yang terbesar adalah Nederlansche Zendeling Genootschap (NZG) yang bekerja di Maluku, Minahasa, Jawa Timur, Tanah Karo,
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Badan-badan penginjilan Belanda lainnya
bekerja di Papua, Halmahera, Sangir Talaud, Sulawesi Selatan dan Tenggara, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Sumba, Bali dan Kepulauan Riauw.
Hasil penginjilan dari Belanda itu
antara lain : GKP dan GKI dan GKJW (Jawa), GKPB (Bali), GKS (Sumba), Gereja
Toraja, GKST (Sulawesi Tenggara), GMIST (Sangir Talaud), GMIH (Halmahera) dan
GKI Papua. Selain itu Bala Keselamatan terbentuk di Palu dan Bandung. Badan
penginjilan Jerman (Rheinish Missiongeselschap – RMG) bekerja di Kalimantan dan
Tapanuli (terkenal nama: Nomensen) dan Nias. Pekerjaan mereka di Kalimantan
dilanjutkan oleh penginjilan dari Swiss. Hasil penginjilan mereka menghasilkan
antara lain HKBP, GKPS, HKI, BNKP (Nias) dan GKE (Kalimantan). Selanjutnya
penginjilan dari Amerika Utara berlangsung melalui Kemah Injil (1928) di
Kalimantan Timur, Makasar dan Papua; Gereja Pentakosta (1921) di Jawa Tengah
dan Surabaya; Advent (1900); Metodis menginjili Sumatera Utara (1905).
Penginjilan Baptis sendiri telah masuk di Jawa Tengah tahun 1814 tetapi
tenggelam dan baru muncul lagi tahun 1952.
Para penginjil menghadapi medan
pelayanan yang tidak mudah. Islam sudah sangat kuat, agama-agama suku (leluhur)
memiliki pengaruh yang berakar dalam masyarakat, sarana dan prasarana yang
belum tersedia dan hidup masyarakat yang miskin dan butu huruf. Para penginjil tidak
hanya memberitakan Injil secara verbal (kata-kata) tetapi juga membangun
masyarakat dengan desa teladan (seperti Hutadame di Tapanuli atau Kebung Gunung
di Sangir, Duma di Halmahera atau Mojowarno di Jawa Timur). Juga dengan
mendirikan sekolah-sekolah umum dan penginjil, rumah sakit, panti asuhan,
kebun-kebun jemaat (ekonomi) serta membangun relasi dengan masyarakat setempat.
Semua usaha penginjilan ini dikoordinasikan oleh satu badan yang disebut
Zendingsconsulaat (1906) sehingga dihindari konflik antar lembaga penginjilan
di Indonesia. Badan ini bekerja bersama dengan GPI dan membentuk Dewan
Gereja-Gereja di Indonesia, DGI
(sekarang: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia – PGI) tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta.
Selain itu penginjilan ini juga ditopang oleh Lembaga Alkitab Belanda yang
menyediakan Alkitab dalam bahasa Melayu, menerjemahkan dalam bahasa-bahasa
daerah dan menyediakan tenaga-tenaga penerjemah. Lalu berdiri Lembaga
Alkitab Indonesia (LAI)
tahun 1954.
Antara tahun 1920 sampai 1939,
umumnya Gereja-gereja baik yang diasuh Negara maupun badan penginjilan
mengalami kemandirian dan berdiri sendiri. Tenaga-tenaga pribumi telah dididik
melalui sekolah-sekolah pendeta/penginjildan Sekolah Tinggi
Teologia di Jakarta
(1934) dan bersiap mengambil alih kepemimpinan dari tangan orang-orang asing
(Eropa dan Amerika). Sementara persiapan pengalihan itu berlangsung, muncul Perang
Dunia II (1940-1945). Gereja-gereja di Indonesia sangat menderita. Selain para
pendeta asing dibunuh atau ditawan, juga orang-orang Kristen dianggap pro
Belanda dan dimusuhi Islam. Walau tidak sedikit orang-orang Kristen yang
berjuang dalam gerakan nasionalisme baik sebelum maupun sesudah PD II,
kecurigaan tetap berlanjut. Berdirinya Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI)
merupakan antiklimaks dari konsolidasi gereja-gereja di Indonesia sesudah PD
II, dan sekaligus memperlihatkan bahwa gereja-gereja di Indonesia merupakan
kekuatan sosial dan keagmaan yang diperhitungkan pemerintah RI di bawah
Presiden Sukarno. Tokoh-tokoh bangsa antara lain seperti Dr .W.Z. Johanes, Mr.J.
Latuharhary, Mr. A.A. Maramis, Dr. Sam Ratulangi, Dr.T.S.G.Mulia, Mr. Amir Syarifudin, Dr J. Leimena dan Letjen. T.B.
Simatupang,
merupakan orang Kristen yang berperan penting dalam persiapan kemerdekaan dan
perjuangan revolusi kemerdekaan. Mulailah era baru partisipasi gereja dalam
masyarakat dan bangsa dengan Negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sejarah DGI (atau PGI sekarang) dapat dipelajari dari pelajaran tentang Gerakan
Oikumene di Indonesia. Perkembangan gereja-gereja di Indonesia setelah tahun 1950
banyak diwarnai oleh peranan gerakan Oikumene baik dari dalam negeri meupun
luar negeri (internasional). Secara internasiomnal gerakan oikumene ini
berhadapan langsung dengan gerakan-gerakan baru dalam gereja-gereja yang
memunculkan aliran-aliran baru, antara lain gerakan kharismatik. Gerakan ini
cenderung anti gereja-gereja “lama” yang dianggap kurang “bergairah” dan tak
menampakkan tanda-tanda Roh Kudus seperti bahasa-bahasa roh, pertobatan dan
hidup suci secara normal dan menjauhi hal-hal duniawi seperti politik. Gerakan
kharismatik ini tidak hanya ingin membarui gereja-gereja Protestan tetapi juga
gereja-gereja Pentakosta yang dianggapnya sudah “membeku”. Gerakan ini muncul
pada tahun 1970-an dan sampai saat ini dengan bebas mengadakan pelayanan “pertobatan”
dan sering mengganggu hubungan antara gereja-gereja di Indonesia.
Kita tiba pada beberapa kesimpulan :
1. Kekristenan masuk ke kepulauan
Nusantara (Indonesia) melalui jalur perdagangan international sebagaimana juga
yang dialami agama-agama lainnya sejak abad 4 Masehi. Baik agama Hindu dan
Budha dari India maupun Islam dari Arab serta Kristen dari Eropa pada awalnya
dibawa oleh para pedagang.
2. Masuknya agama-agama ini tidak serta
merta meniadakan agama-agama suku (warisan leluhur suku-suku itu) yang telah
beruratakar di Indonesia. Malah pengaruh agama-agama suku tersebut terasa dalam
cara penghayatan iman yang sering bersifat spiritisme (percaya kuasa-kuasa
roh-roh), mistik (percaya kekuatan-kekuatan gaib),legalistic (mengandalkan
aturan-aturan sebagai jalan keselamatan) dan eksklusif (menganggap diri sendiri
benar dan yang lain jelek).
3. Sejak awal perjuangan Kristen dengan
Islam (yang sudah ada sebelumnya) sering ditandai dengan kecurigaan dan yang
mengakibatkan ketegangan bahkan konflik. Keadaan seperti ini sudah muncul sejak
abad 15 di Maluku dan berlanjut seperti yang kita alami dalam peristiwa Ambon
(1999) dan kemudian Poso (2000).
4. Gereja-gereja kita, baik diasuh
Negara maupun badan-badan “penginjilan “, umumnya terbentuk dengan latar
belakang suku atau kedaerahan. Sehingga gereja-gereja kita mudah terpecah bukan
karena ajaran tetapi sering oleh factor-faktor non teologis seperti suku,
ekonomi dan kepentingan-kepentingan pribadi/kelompok.
5. Gereja-gereja kita sampai pada tahun
1960-an mengembangkan kemandirian dan berperan dalam masyarakat dan bangsa.
Malah oleh gerakan oikumene internasional belajar dan berusaha merumuskan
teologinya (ajaran, ibadah, pelayanan dan kesaksiannya) dalam hubungan dengan
pergumulan bangsa dan Negara Indonesia. Tetapi setelah tahun 1970 sampai
sekarang sering disibukkan dengan soal-soal yang berhubungan dengan gerakan
kharismatik yang banyak berorientasi pada budaya kerohanian Amerika Utara yang
bebas dan cenderung merelatifkan warisan-warisan yang dipegang gereja-gereja.
Buku-buku Petunjuk untuk pengajar
dan katekisan:
Umum
1. Sejarah Indonesia Modern
1200-2004, M.C.Ricklefs.
2. Agama Murba, Dr. Harun
Hadiwijono, BPK Gunung Mulia Jakarta.
Khusus
1. Ragi Carita 1, Dr. Th. van den End, BPK Gunung
Mulia Jakarta.
2. Ragi Carita 2, Dr. Th. van den End, BPK Gunung
Mulia Jakarta.
3. Sejarah Apostolat I, II/1, II/2, Dr.J.L.Ch.Abineno, PERSETIA,
Jakarta.
4. Sejarah Gereja Protestan di
Indonesia, Dr.
Samuel B.Hakh dan Drs. Jusak Soleiman (Peny.), BPH GPI Jakarta.
Metode :
Pengajar membaca dengan teliti dan
menguasai bahan ini dengan periodisasi:
1. Masa Portugis dan VOC
(Belanda)1512 – 1799
2. Masa Konsolidasi Pemerintah
Belanda 1800-1860
a. Kekuasaan Inggris di Nusantara
1811-1816
b. Kebijakan-kebijakan Pemerintah
Belanda
c. Pengasuhan Pemerintah Belanda
terhadap gereja :
1. 1). Alasan-alasan
2. 2). Berdirinya GPI (Keputusan Raja
Willem I, 1915) dan penginjilan secara sporadis
3. 3). Perkembangan singkat GPI sampai
pada berdirinya GMIM 91939), GPM (1935), GMIT (1947) dan GPIB (1948)
3. Masa Penginjilan atas izin
pemerintah Belanda 1860-1939
1. Badan-badan penginjilan dari Eropa
dan Amerika Utara.
2. Beberapa cara dan metode penginjilan
3. Hasil-hasilnya, yaitu berdiri
gereja-gereja hasil penginjilan (Protestan, Pentakosta, Metodis, Baptis, Kemah
Injil, Bala Keselamatan, Advent).
4. Pergumulan-pergumulan yang
dihadapi 1939 – kini
1. Penderitaan masa pemerintahan Jepang
dan Revolusi kemerdekaan
2. Kecurigaan dari Islam terhadap
gereja
3. Masuknya gerakan kharismatik yang
“mengganggu” pertumbuhan dan perkembangan kemandirian gereja-gereja.
Alokasi Waktu : 1½jam
1. 1 jam presentasi pengajar
2. 15 menit diskusi bersama
3. 15 menit untuk kegiatan ibadah dan
kesimpulan.